Skip to main content
BERITADOK

Pesona Rasa Kopi Luwak Prangat Baru

By April 29, 2023April 1st, 2024No Comments

 

 

Sabtu 29 April 2023

Desa yang berbatasan dengan Desa Suka Damai di bagian barat dan Desa Prangat Selatan disebelah timur, mulanya  dihuni oleh Rindoni yang kemudian membuat Desa Prangat Baru menjadi terkenal karena budidaya kopi liberika semenjak tahun 1997 awal nya transmigran dari Jawa Timur mulai tahun 1988.

ditemani segelas kopi dan jagung rebus sambil lesehan di satu dari tiga gazebo yang menjadi batas dari rumah tinggal dan kebun kopinya, Rindoni membeberkan perjalanan kopi liberika yang ditanamnya hingga menjadi inspirasi untuk mengembangkan Desa Prangat Baru menjadi Kampung Kopi Luwak.

Setelah hampir satu dekade bergelut dengan tanaman karet, Rindoni mulai menanam kopi yang bibitnya diperoleh dari kerabatnya di Jawa. Kopi ditanam di dekat rumah kediamannya yang dikelilingi kebun karet.

Ternyata bibit kopi liberika yang ditanamnya tumbuh dengan baik dan mulai berbuah. Sejenis musang yang dikenal dengan nama Luwak Pandan yang hidup liar mulai turut menikmati buahnya. Rindoni kemudian mengumpulkan biji kopi yang tidak dicerna dengan sempurna oleh Luwak sehingga dikeluarkan sebagai feses dalam bentuk gumpalan biji kopi itu.

Oleh Rindoni, biji kopi yang berwarna putih dengan nuansa kuning cerah itu kemudian diolah secara tradisional. Hasilnya dikonsumsi untuk kebutuhan sendiri dan sebagai suguhan untuk tetangga atau warga sekitar yang berkunjung ke kediamannya.

Ketekunan Rindoni membudidayakan tanaman kopi diantara warga Prangat Baru yang 95 persennya membudidayakan tanaman karet itu tercium oleh Pertamina Hulu Kalimantan Timur. PHKT kemudian memberi dukungan pengembangan dengan memfasilitasi Rindoni bersama kelompok tani untuk melakukan studi banding ke Malabar Mountain Garden, perkebunan kopi yang berada di Pengalengan, Jawa Barat.

MMG kopi ini dimiliki oleh Slamet Prayoga, warga Kalimantan Timur lulusan dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Di perkebukan kopi milik Pak Yoga ini, Rindoni memperbaharui pengetahuannya tentang budidaya kopi mulai dari pembibitan, pemeliharaan, pemanenan hingga paska panen.

“Ternyata kopi luwak itu emas yang bisa dipanen,” ujar Rindoni menggambarkan betapa bernilainya ‘tahi’ Luwak, binatang yang sering ‘mencuri’ buah dari pohon kopi yang ditanamnya.

Rindoni semakin bersemangat untuk menularkan kegemarannya bertanam kopi yang ternyata bisa menghasilkan imbal uang yang amat besar. Kini di samping belakang rumahnya berderet bibit kopi dalam polybag yang berasal dari semaian biji kopi dan anakan yang tumbuh di bawah pohon kopi lalu dipindahkan dalam polybag.

Dari tahun 2020, Rindoni dengan dukungan dari PHKT kemudian mengembangkan Kampung Kopi Luwak bersama dengan petani di Prangat Baru lewat Kelompok Kopi Luwak Kapak Prabu. Kini kelompok yang beranggotakan kurang lebih 30 orang ini telah mengembangkan tanaman kopi liberika pada lahan seluas kurang lebih 64 hektar.

“Bibit itu kami bagikan gratis kepada petani. Kami utamakan lebih dahulu untuk petani disini baru nanti ke petani lain di luar Prangat Baru,” ujar Sukardi, anggota kelompok tani Kapak Prabu yang turut menemani Rindoni menyambut kedatangan rombongan Dinas Pariwisata Provinsi Kaltim.

Selain disertai oleh jurnalis, kedatangan Dinas Pariwisata Provinsi Kaltim juga diikuti oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Kutai Karta Negara dan Wied Paramartha, Ketua Indonesian General Manager Association {IHGMA} Samarinda.

Trend untuk menyeruput kopi mulai tumbuh pesat semenjak tahun 2013, Samarinda dan Kota-Kota besar lainnya di Kalimantan Timur tak luput dari kegemaran itu.

Sejak tahun 2015, gelombang kopi manual brewing mulai tumbuh di Samarinda dan kota-kota lainnya, kedai kopi terus bermunculan hingga sekarang ini. Tak henti karena disusul oleh kemunculan kedai fast coffee yang dikenal dengan nama kopi kekinian.

Meski demikian nama kopi liberika terdengar asing untuk para penikmat kopi, baik penikmat kopi lama maupun penyuka kopi baru. Yang akrab di telinga mereka adalah kopi arabika dan robusta.

Secara umum Indonesia memang dikenal sebagai penghasil kopi arabica dan robusta semenjak budidaya kopi diperkenalkan oleh kaum kolonial Belanda lewat program tanam paksa {cultuurstelsel}.

Pemerintah Kolonial Belanda awalnya membawa bibit kopi arabica untuk ditanam perkebunan yang berada di pulau Jawa dan Sumatera lalu menyusul ke pulau-pulau lainnya. Tumbuh subur dan mampu menghasilkan pundi-pundi uang untuk Maskapai Dagang Belanda {VOC}, tanaman kopi arabica kemudian diserang hama. Hingga kemudian didatangkan bibit kopi liberika dan excelsa untuk mengantikannya.

Karena diserang oleh hama yang sama kemudian pemerintah kolonial mendatangkan bibit kopi lainnya yakni robusta yang lebih tahan penyakit.

Harga dan produktifitas kemudian membuat kopi arabica dan robusta populer. Sementara kopi liberika dan excelsa yang merupakan varian dari kopi liberika cenderung dibiarkan, tumbuh dan tak teramat walau persebarannya masih cukup luas di berbagai wilayah Indonesia.

Kini yang dikenal sebagai penghasil kopi liberika terbesar di Indonesia adalah Provinsi Jambi. Kopi liberika dibudidayakan di daerah rawa-rawa gambut di wilayah kepulauan Meranti.

Secara sporadis tanaman kopi liberika bisa dijumpai di berbagai wilayah Kalimantan Timur. Jenis atau spesies kopi ini memang cocok ditanam di Kalimantan Timur karena kondisi geografisnya yang relatif rendah.

Kopi liberika tumbuh baik didataran rendah dengan jenis tanah berupa campuran antara tanah liat dan pasir.

Dulu, warga menanam kopi untuk konsumsi pribadi atau lokal. Namun ketika muncul kopi kemasan, tanaman kopi menjadi kurang dipelihara oleh masyarakat, dibiarkan tumbuh liar atau diganti dengan tamanan lainnya seperti lada, coklat, sengon, karet dan sawit.

Gelombang kopi baru yang berhasil menghapus anggapan bahwa kopi adalah minuman para orang tua, menjadi kesempatan baru untuk para petani dan pembudidaya kopi di Kalimantan Timur melakukan lompatan paradigma dalam budidaya kopi.

Kopi yang awalnya ditanam untuk kebutuhan domestik atau lokal, punya peluang besar untuk masuk ke pasar komersial karena kebutuhan kopi semakin meningkat dengan lahirnya peminum kopi baru dari generasi millennial dan generasi Z.

Kampung Kopi Luwak yang dimotori oleh Rindoni dan kelompok tani Kapak Prabu, Prangat Baru bisa menjadi titik ungkit baru agar komoditas kopi tidak pupus dari daftar komoditas yang dirilis oleh BPS setiap tahunnya.

Masih butuh waktu untuk mengejar kuantitas, namun kopi yang dihasilkan dengan bantuan Luwak, binatang arboreal yang mencari makan dimalam hari itu bisa mengisi ceruk kebutuhan para penyuka kopi yang ingin menyeruput kopi eksotik dengan harga premium.

 

Melihat sambutan atas kopi luwak dari Prangat Baru, niat Rindoni semakin kukuh untuk menjadikan kopi luwak yang berasal dari biji kopi liberika yang dibudidayakan petani dari Desa Prangat Baru menjadi brand kopi andalan dari Kalimantan Timur.

Rindoni yakin kualitas kopi luwak Prangat Baru bisa bersaing dengan kopi-kopi luwak dari daerah lainnya yang lebih dahulu ternama.

“Kami pernah menjadi bintang dalam sebuah pameran kopi di Jakarta,” ujar Rindoni bangga.

“Yang mencoba kopi kami, bersaksi bahwa kopi luwak dari sini lain daripada yang lain,” lanjutnya.

Rindoni tidak sedang membual, setelah diseduh bubuk kopi yang dijual dengan harga 4,5 juta per kilonya itu segera menebar aroma buah yang teramat kuat, harum segar.

Seruputan pertama dari bubuk kopi yang diseduh dengan cara tubruk itu terasa lembut di langit-langit mulut, rasa pertama yang ditangkap adalah rasa woody, rasa kayu yang disertai rasa manis tipis-tipis dan kemudian diujungnya membangkitkan rasa fruity, rasa asam segar khas buah-buahan.

Sensai mulut yang terasa penuh tidak berlangsung lama, begitu diteguk aftertaste seperti rasa pahit dan pekat hampir tak tersisa. Rongga mulut terasa clean, bersih seperti sehabis minum air putih. Hingga godaan untuk kembali meneguk kopi ke seruputan kedua dan seterusnya makin membuncah. Rasanya satu gelas saja tak cukup untuk tetap berada dalam pesona sihir nikmatnya kopi luwak dari Prangat Baru ini.

Sayang nafsu itu tak mungkin diumbar sebab harga termurah untuk segelas kopi luwak dari Prangat Baru ini segelasnya mesti ditebus dengan uang senilai 70 ribu rupiah. Ada dua kedai kopi di Samarinda yang menjualnya.

“Anak saya yang menjualnya, satu kedai ada di Jalan PM. Noor dan satunya di Jalan Juanda,” terang Rindoni.

Selain itu kopi luwak Prangat Baru juga bisa dinikmati dan dibeli di Hotel Mercure, Samarinda. Dan mungkin tak lama lagi, Pak Wied Paramartha akan menyajikan dan memajangnya di Swissbell Hotel Borneo, Samarinda.

Cita-cita lainnya dari Rindoni yang sekarang juga masih aktif sebagai pendidik adalah menjadikan Kampung Kopi Luwak sebagai Destinasi Wisata Edukasi.

Gayungpun bersambut, Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Timur Ahmad Herwansyah berkomitmen untuk membantu niatan Rindoni agar Kampung Kopi Luwak menjadi salah satu destinasi unggulan lewat pesona wisatanya.

Terletak di samping jalan poros, menurut Pak Iwan, sapaan akrab Kadis Pariwisata Kaltim kehadirannya belum mencolok bagi mereka yang melewati jalan raya nasional tersebut.

“Belum eye catching,” ujar Iwan sambil menerangkan bahwa pesona destinasi wisata yang pertama adalah tampilan berbeda dari lingkungan sekitarnya sehingga menarik perhatian.

“Disini mestinya juga ada kafe atau kedai kopinya, sehingga yang datang bisa menikmati kopi luwaknya,” lanjut Iwan.

Yang dimaksud dengan Ahmad Herwansyah adalah kedai kopi artisan, kedai yang menyajikan kopi spesial karena hanya menjual kopi yang dihasilkan dari kebun sendiri atau daerah sendiri. Sehingga branding-nya kuat.

Branding akan kuat karena yang berkunjung bisa melihat tanaman kopinya, bagaimana tanaman dipelihari, kopi dipanen dan diolah. Dengan begitu pengunjung akan percaya dengan kualitas prima dari kopi luwak Prangat Baru, karena hasil kopi yang dibantu oleh Luwak itu dihasilkan secara alami.

Sebagaimana diketahui, kopi luwak alami akan lebih baik mutunya dari kopi luwak tangkar. Karena kopi luwak alami dihasilkan dari biji kopi merah yang terbaik, kopi yang dipilih sendiri oleh Luwak yang punya insting menerka buah kopi yang terbaik.

Berbeda dengan kopi luwak tangkar, yang bijinya dipanen oleh petani lalu diberikan sebagai makanan Luwak.

“Untuk salah satu daya tarik, tidak apa-apa ditunjukkan Luwak di kandang. Biar yang penasaran bisa tahu seperti apa wujud Luwak itu,” ujar Ahmad Herwansyah sambil menerangkan lebih lanjut bahwa sebuah destinasi wisata mesti mempunyai beberapa daya tarik atau pesona wisatanya.

“Dengan begitu mereka yang datang kesini, pulangnya bukan hanya membawa pulang rasa puas karena menikmati kopi luwak terbaik tapi juga membawa oleh-oleh pengetahuan, betapa kaya bumi etam ini kalau dimanfaatkan secara berkelanjutan,” tegas Iwan.

Rindoni dan anggota kelompok tani Kapak Prabu, Prangat Baru membuktikan bahwa kekayaan lahan dan hutan Kalimantan Timur bisa tetap lestari serta menghasilkan ‘cuan’ tanpa harus membabat dan mengeruknya.

Kopi Luwak yang diproduksi bekerja sama dengan alam bisa sama nilainya dengan batubara yang dikeruk dari bumi Kalimantan Timur dan membuat terang benderang daerah serta negeri lainnya, namun meninggalkan lubang menganga serta potensi bencana ekologi lainnya bagi warga Kalimantan Timur.

Dengan kopi, warga Prangat Baru bisa memanfaatkan lahan secara berkelanjutan serta menjaga kawasan hutannya agar Luwak bisa tetap hidup bebas secara alami. Kopi luwak yang dihasilkan kemudian bisa menjadi pemicu untuk mengembangkan daya tarik wisata serta sektor ekonomi kreatif lainnya, sehingga masyarakat bisa sejahtera tanpa harus merusak atau berperilaku destruktif serta ekstraktif atas lahan, alam dan lingkungan hidupnya.

dikutip dari :  https://kesah.id/

 

Leave a Reply

Close Menu